Kamis, 14 Mei 2020

Tentang Kita: Moral dan Ilmu Pengetahuan

Tentang Kita: Moral dan Ilmu Pengetahuan

Oleh: Arfan Nusi, M.Hum

(Penulis adalah Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo/Wakil Ketua Pergunu Gorontalo)

 

 

Moral dan Ilmu Pengetahuan

Kata-kata itu pernah ia ungkapkan: “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada manusia”. Kinimutiara kata itu diabadikan di batu Nisannya. Seorang filsuf mentereng yang dikenal sebagai bapak kritisisme, Immanuel Kant.Sekalipun ia seorang filsuf yang selalu mengagungkan akal tapi Kant gerah pada mereka yang mengatasnamakan ilmuan tetapi minus moral. Soal moral Kant tidak main-main, ia malah mempertegas bahwa kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada moralnya.

Tahun 2012 seingat saya pernah membeli buku karya Imanuel Kant Critique of Practical Reason (Kritik Atas Akal Budi Praktis) di toko buku Sosial Agency di Kota Jogja sewaktu saya studi S2 di UIN Sunan Kalijaga. Dari buku itu Kant memporak-poranda kemapanan ilmu pengetahuan, ia mencoba memusnahkan ilusi dialektika kuno yang dianggap spekulatif. Usahanya memugar objektifitas ilmu pengetahuan menggema kemana-mana, hingga sejarah mengenalnnya sebagai orang yang mendamaikan rasionalisme dan empirisme.

Derasnya arus perkembangan pengetahuan dan teknologi semakin mempermudah mobilitas kita. Pesan-pesan Kant  nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk modernisasi, kecuali bergema didisikusi kecil di perguruan tinggi. Mungkin saja kita lahir sebagai orang pragmatis, tidak sedikit saya menemukan mahasiswa protes atas ketidakpuasan perolehan nilai mata kuliah, mengapa hanya B bukan A pak dst. Padahal nilai bukan hanya soal angka-angka, tapi nilai selalu terekspresi dalam diri setiap harinya, itulah moral.

Kalau di hitung-hitung ilmuan di negeri ini melimpah ruah. Tapi berapa banyak problem teratasi? Yang ada justru menambah masalah baru. Ternyata kita dapat menyimpulkan bahwa mengandalkan kepekaan intelektual semata bukan jalan yang memuaskan dalam mengatasi masalah kehidupan. Dimensi moral hari ini belum mendapatkan perawatan dalam porsi yang memadai. Liat saja gemuruh tepukan tangan menjadi hadiah bila mereka-mereka menjuarai kompetisi di bidang ilmu pengetahuan, tapi kita lupa mestinya kita berduka karena moral mereka kosong, sehingga yang mengejewantah sikap-sikap premanisme yang jauh dari keharuman budi pekerti.

Sudah lama kita ini di dera oleh perburuan nilai agar kita dikagumi oleh keluarga,kerabat, teman hingga mungkin mantan yang pernah mencabik-cabik hati kita disaat masih sayang-sayangnya. Kita bangga bila anak meraih prestasi gemilang di sekolah, decak kagum jika IPK menyentuh angka sempurna, puluhan bahkan ratusan ucapan “selamat” kita terima atas pencapaian wisudah Sarjana, Magister dan Doktor. Tapi pernahkah kita mengukur kelulusan moral kita hari ini? rasanya kita masih belum lulus belajar menjadi orang bermoral. Kita lulus dalam menghafal bahwa Allah SWTMaha Rahman dan Maha Rahim dan Maha-Maha lainnya dalam Asm’ul Husna. Kita langsung puas dengan sekadar hafalan itu. Padahal akan lebih bermakna hafalan kasih dan sayang kita ejewantah dalam tingkah laku, seperti sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang terindas. Asghar Ali Engineer menggaris bawahi, tidak paham agama seutuhnya seseorang jika kurang memiliki kasih sayang terhadap mereka yang menderita.

Tanggung Jawab Ilmuan

Ilmuan melihat realitas dengan mata yang berfikir. Ilmuan bersemboyan kebenaran untuk kebenaran, ia tidak terpasung oleh kuasa politik. Kadang-kadang ia berseberangan dengan politisi bahkan dengan tokoh agama sekalipun. Tanggungjawab keilmuan yang disandang kadang-kadang beresiko besar, nyawa taruhannya. Misalnya Galileo mendukung penelitian Copernicus yang menunjukkan bahwa matahari menjadi pusat dari alam semesta. Kesimpulan itu bertentangan dengan keyakinan Gereja Katolik yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta, alhasil ia kemudian ditangkap lalu menjalani hukuman. Di masa itu teori yang bertentangan dengan doktrin agama mendatangkan masalah. Demikian juga Socrates filsuf Yunani di hukum mati karena dinilai merusak pikiran pemuda kota.Galileo dan Socrates contoh dari sekian banyak ilmuan sejati itu, bertahan atas kebenaran temuannya.

Di Indonesia cendekiawan muslim banyak, sebut saja Nur Cholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab, Safi’i Ma’arif, M. AminAbdullah, Nadirsyah Hosein, dll. Mereka ilmuan Islam bereputasi tinggi, bertahun-tahun menempuh proses pendidikan,fokus meneliti, melahirkan karya. Otoritas dan kredibilitas keilmuannya tidak diragukan. Tapi lihat saja, para cendekiawan itu tidak luput dari resiko seperti yang dialami pendahulunya. Cendekiawan kilat hasil didikan google menghukum, mengamuk, menghujatmereka, sampai memporak-poranda bangunan keilmuan yang telah mereka dirikan.Cendekiawan kilat membuatIlmuan-ilmuan hebat tadi tak berdaya. Di era ini cendekiawan muslim menawarkan gagasan rekontruksi bangunan penafsiran agama dianggap menciderai nilai-nilai sakralitas agama. Era melahirkan fase digital, pemangkasan waktu belajar dan mudahnya mendapat pengetahuan di google/youtobe berimbas pada pendangkalan pemahaman agama.  

Selain itu ada juga ilmuan melompat pagar,menyeberang batas. Ikut serta dilingkaran kuasa sampai mendapat kesempatan kedudukan empuk yang menjauhkannya dari temuan-temuan ilmiah. Sebenarnya tak masalah jika ilmuan dalam lingkaran kekuasaan, karena itu adalah panggilan untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai mutlak kemanusiaan. Tetapi yang akan disesali adalah penghianatan mereka atas nilai-nilai itu. Apalagi sampai menggunakan ilmunya hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Fuad Nasar pernah bilang “Seorang ilmuan sejati tak akan pernah mengkhianati ilmunya walau dibayar berapapun, apalagi menghianati bangsa dan negara”.

Tentang Kita

Siapapun kita, pasti amat prihatin dengan kenyataan negeri ini. Saya mengutip keresahan Profesor Alaiddin Koto “Setelah bertahun-tahun reformasi berlalu, persoalan bangsa bukannya berkurang malahan semakin runyam. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, tidak hanya ditingkat pusat, daerah pun ikut menikmati. Pembangunan secara fisik nampak semarak, banyak gedung bertingkat berdiri dan banyak kenderaan bermotor sesak memenuhi jalan raya. Tapi di balik itu, banyak sekali rakyat menjerit kelaparan, kesulitan biaya berobat dan belanja anak sekolah”.  

Ini tentang kita. Kadang kita bereaksi keras terhadap mereka pelanggar moral. Kita juga kecewa bila selalu disuguhkan informasi perilaku korupsi pejabat. Mungkin kita juga marah ketika ada anggota masyarakat melakukan kriminal dan asusila. Kekecewaaan dan kemarahan itu refleksi dari moral kita. Setiap kita mesti memiliki moral atas apa yang dipikirkan, diucapkan dan segala tindakan. Sebelum semuanya terlambat seyogyanya anak bangsa menaruh perhatian atas semua itu. Kita memang tidak bisa berbuat apa-apaselain bertanggung jawab kepada negeri sendiri. Kita mencoba hanya dari bidang keilmuan bukan power (kekuasaan).

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar