Tentang
Kita: Moral dan Ilmu Pengetahuan
Oleh:
Arfan Nusi, M.Hum
(Penulis
adalah Pengajar di IAIN Sultan Amai Gorontalo/Wakil Ketua Pergunu Gorontalo)
Moral
dan Ilmu Pengetahuan
Kata-kata
itu pernah ia ungkapkan: “Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi
moralitas di dada manusia”. Kinimutiara kata itu diabadikan di batu Nisannya.
Seorang filsuf mentereng yang dikenal sebagai bapak kritisisme, Immanuel
Kant.Sekalipun ia seorang filsuf yang selalu mengagungkan akal tapi Kant gerah
pada mereka yang mengatasnamakan ilmuan tetapi minus moral. Soal moral Kant tidak
main-main, ia malah mempertegas bahwa kelebihan dan keunggulan manusia
dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada moralnya.
Tahun
2012 seingat saya pernah membeli buku karya Imanuel Kant Critique of Practical Reason (Kritik Atas Akal Budi Praktis) di
toko buku Sosial Agency di Kota Jogja sewaktu saya studi S2 di UIN Sunan
Kalijaga. Dari buku itu Kant memporak-poranda kemapanan ilmu pengetahuan, ia
mencoba memusnahkan ilusi dialektika kuno yang dianggap spekulatif. Usahanya
memugar objektifitas ilmu pengetahuan menggema kemana-mana, hingga sejarah
mengenalnnya sebagai orang yang mendamaikan rasionalisme dan empirisme.
Derasnya
arus perkembangan pengetahuan dan teknologi semakin mempermudah mobilitas kita.
Pesan-pesan Kant nyaris tenggelam oleh
hiruk pikuk modernisasi, kecuali bergema didisikusi kecil di perguruan tinggi. Mungkin
saja kita lahir sebagai orang pragmatis, tidak sedikit saya menemukan mahasiswa
protes atas ketidakpuasan perolehan nilai mata kuliah, mengapa hanya B bukan A pak
dst. Padahal nilai bukan hanya soal angka-angka, tapi nilai selalu terekspresi
dalam diri setiap harinya, itulah moral.
Kalau
di hitung-hitung ilmuan di negeri ini melimpah ruah. Tapi berapa banyak problem
teratasi? Yang ada justru menambah masalah baru. Ternyata kita dapat
menyimpulkan bahwa mengandalkan kepekaan intelektual semata bukan jalan yang
memuaskan dalam mengatasi masalah kehidupan. Dimensi moral hari ini belum
mendapatkan perawatan dalam porsi yang memadai. Liat saja gemuruh tepukan
tangan menjadi hadiah bila mereka-mereka menjuarai kompetisi di bidang ilmu
pengetahuan, tapi kita lupa mestinya kita berduka karena moral mereka kosong,
sehingga yang mengejewantah sikap-sikap premanisme yang jauh dari keharuman
budi pekerti.
Sudah
lama kita ini di dera oleh perburuan nilai agar kita dikagumi oleh
keluarga,kerabat, teman hingga mungkin mantan yang pernah mencabik-cabik hati
kita disaat masih sayang-sayangnya. Kita bangga bila anak meraih prestasi
gemilang di sekolah, decak kagum jika IPK menyentuh angka sempurna, puluhan
bahkan ratusan ucapan “selamat” kita terima atas pencapaian wisudah Sarjana,
Magister dan Doktor. Tapi pernahkah kita mengukur kelulusan moral kita hari
ini? rasanya kita masih belum lulus belajar menjadi orang bermoral. Kita lulus
dalam menghafal bahwa Allah SWTMaha Rahman dan Maha Rahim dan Maha-Maha lainnya
dalam Asm’ul Husna. Kita langsung puas dengan sekadar hafalan itu. Padahal akan
lebih bermakna hafalan kasih dan sayang kita ejewantah dalam tingkah laku,
seperti sensitif terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan
orang-orang yang terindas. Asghar Ali Engineer menggaris bawahi, tidak paham
agama seutuhnya seseorang jika kurang memiliki kasih sayang terhadap mereka
yang menderita.
Tanggung
Jawab Ilmuan
Ilmuan
melihat realitas dengan mata yang berfikir. Ilmuan bersemboyan kebenaran untuk
kebenaran, ia tidak terpasung oleh kuasa politik. Kadang-kadang ia
berseberangan dengan politisi bahkan dengan tokoh agama sekalipun.
Tanggungjawab keilmuan yang disandang kadang-kadang beresiko besar, nyawa
taruhannya. Misalnya Galileo mendukung penelitian Copernicus yang menunjukkan
bahwa matahari menjadi pusat dari alam semesta. Kesimpulan itu bertentangan
dengan keyakinan Gereja Katolik yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta,
alhasil ia kemudian ditangkap lalu menjalani hukuman. Di masa itu teori yang
bertentangan dengan doktrin agama mendatangkan masalah. Demikian juga Socrates
filsuf Yunani di hukum mati karena dinilai merusak pikiran pemuda kota.Galileo
dan Socrates contoh dari sekian banyak ilmuan sejati itu, bertahan atas
kebenaran temuannya.
Di
Indonesia cendekiawan muslim banyak, sebut saja Nur Cholish Madjid, Abdurrahman
Wahid, Quraish Shihab, Safi’i Ma’arif, M. AminAbdullah, Nadirsyah Hosein, dll.
Mereka ilmuan Islam bereputasi tinggi, bertahun-tahun menempuh proses
pendidikan,fokus meneliti, melahirkan karya. Otoritas dan kredibilitas keilmuannya
tidak diragukan. Tapi lihat saja, para cendekiawan itu tidak luput dari resiko seperti
yang dialami pendahulunya. Cendekiawan kilat hasil didikan google menghukum, mengamuk,
menghujatmereka, sampai memporak-poranda bangunan keilmuan yang telah mereka dirikan.Cendekiawan
kilat membuatIlmuan-ilmuan hebat tadi tak berdaya. Di era ini cendekiawan
muslim menawarkan gagasan rekontruksi bangunan penafsiran agama dianggap
menciderai nilai-nilai sakralitas agama. Era melahirkan fase digital,
pemangkasan waktu belajar dan mudahnya mendapat pengetahuan di google/youtobe
berimbas pada pendangkalan pemahaman agama.
Selain
itu ada juga ilmuan melompat pagar,menyeberang batas. Ikut serta dilingkaran
kuasa sampai mendapat kesempatan kedudukan empuk yang menjauhkannya dari
temuan-temuan ilmiah. Sebenarnya tak masalah jika ilmuan dalam lingkaran
kekuasaan, karena itu adalah panggilan untuk memperjuangkan dan membela
nilai-nilai mutlak kemanusiaan. Tetapi yang akan disesali adalah penghianatan
mereka atas nilai-nilai itu. Apalagi sampai menggunakan ilmunya hanya untuk
melanggengkan kekuasaan. Fuad Nasar pernah bilang “Seorang ilmuan sejati tak
akan pernah mengkhianati ilmunya walau dibayar berapapun, apalagi menghianati
bangsa dan negara”.
Tentang Kita
Siapapun
kita, pasti amat prihatin dengan kenyataan negeri ini. Saya mengutip keresahan Profesor
Alaiddin Koto “Setelah bertahun-tahun reformasi berlalu, persoalan bangsa
bukannya berkurang malahan semakin runyam. Korupsi, kolusi dan nepotisme
merajalela, tidak hanya ditingkat pusat, daerah pun ikut menikmati. Pembangunan
secara fisik nampak semarak, banyak gedung bertingkat berdiri dan banyak
kenderaan bermotor sesak memenuhi jalan raya. Tapi di balik itu, banyak sekali
rakyat menjerit kelaparan, kesulitan biaya berobat dan belanja anak sekolah”.
Ini
tentang kita. Kadang kita bereaksi keras terhadap mereka pelanggar moral. Kita
juga kecewa bila selalu disuguhkan informasi perilaku korupsi pejabat. Mungkin
kita juga marah ketika ada anggota masyarakat melakukan kriminal dan asusila.
Kekecewaaan dan kemarahan itu refleksi dari moral kita. Setiap kita mesti
memiliki moral atas apa yang dipikirkan, diucapkan dan segala tindakan. Sebelum
semuanya terlambat seyogyanya anak bangsa menaruh perhatian atas semua itu.
Kita memang tidak bisa berbuat apa-apaselain bertanggung jawab kepada negeri
sendiri. Kita mencoba hanya dari bidang keilmuan bukan power (kekuasaan).